Kamis, 5 Juni 2014
SWARU sebagai desa sekaligus sebagai jemaat Kristen Jawa
Jemaat kita sudah memiliki
Profil Jemaat yang mencantumkan sejarah Gereja kita
seperti yang kita mengerti
dan kita ketahui selama ini
ternyata masih belum secara detail dapat dikorek
dan diceritakan
tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan Swaru ini
Hal tersebut dikarenakan minimnya sumber dan bukti-bukti sejarah
terdahulu yang sudah didapat /ditemukan
untuk dibaca/ diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dari teks bahasa Belanda ataupun teks bahasa Jawa yang
minim jumlahnya
Sumber sejarah terdahulu sebagai
acuan kita menuliskan profil Jemaat itu sebenarnya memuat penjelasan secara global
dan masih sedikit atau kurang detail menerangkan keadaan Jemaat kita (=Swaru)
Sumber / bukti-bukti
sejarah kali ini yang dapat menambahkan secara detail situasi dan keadaan
Jemaat Swaru:
1. Arsip berupa buku-buku asli ( ada 40 buku) tahun 1857 (157 tahun yang lalu)
2. Surat-surat pelaku sejarah
3. Laporan tahunan para Zendeling (Pendeta Zending) 1857 –
1874
4. Teks lagu dengan aksara Jawa ( yang digunakan 186.. –
1874)
Swaru adalah sebuah
desa; sekaligus sebagai jemaat Kristen Jawa pertama (di Jawa Timur) di daerah
Malang. Pertumbuhan jemaat ataupun desa Swaru ini Swaru tidak dapat dilepaskan
dan dipisahkan dari Jemaat Mojowarno dan Badan Pekabaran Injil Belanda (NZG=
Nederland Zendeling Genostschap)
( J Emde <Jerman>: dapat berbahasa Melayu; tidak
menguasai/ tidak faseh bahasa Jawa ?.
Jellesma :dapat berbahasa Jawa.
Jellesma :dapat berbahasa Jawa.
>> Jellesma dari Surabaya -- > Jellesma ke Mojowarno (Sudah jadi,
diminta membabtis
56 orang dan 16 orang di Sidokare,Sidoarjo);(Injil sudah terkabar di/ke mana-mana <<
Pertanyaannya Siapa yang mengabarkan Injil ini ?) –-- > Jellesma ke “Swaru”
56 orang dan 16 orang di Sidokare,Sidoarjo);(Injil sudah terkabar di/ke mana-mana <<
Pertanyaannya Siapa yang mengabarkan Injil ini ?) –-- > Jellesma ke “Swaru”
= > Mengabarkan Injil kepada
orang Jawa dengan metode pendidikan/ pemuridan
Ada beda antara Pendeta Zending/ Zendeling dengan
Penginjil !
ð Zendeling= Pendeta , DS // Penginjil = Broder/ Bro,
saudara laki --- > Jellesma
Wilayah Malang Selatan :
* Mentalitas
kesaksian dengan cara pembukaan desa
* Penginjilan itu dilakukan oleh orang Jawa sendiri
PEKABARAN INJIL oleh sesama orang Jawa
Desa
dan jemaat Kristen Swaru ada/ muncul sebagai perwujudan kesaksian orang-orang
yang telah mendengar/ mengenal kabar keselamatan tentang TUHAN YESUS.
Orang-orang ini mendapat berita keselamatan dari Jemaat Mojowarno. Sebagai
murid KRISTUS mereka semua terpanggil untuk mengabarkan berita keselamatan ke
seluruh penjuru dunia
Ada seorang Kyai yang pernah belajar kekristenan
kepada Jallesma bernama Kyai Tunggul Wulung; Seorang kyai yang memiliki charisma
dan berpengalaman dalam ngelmu kebatinan
Jawa. Setelah mendapatkan berita keselamatan
tentang pengorbanan dan penebusan dosa oleh TUHAN YESUS, Kyai Tunggul Wulung terpanggil untuk meneruskan berita
keselamatan yang ia miliki itu ke semua orang dengan caranya sendiri ia
kabarkan. Kyai Tunggul Wulung berkelana ke mana saja di Pulau Jawa ini untuk
mengabarkan Injil termasuk ke daerah Malang. Dimanapun Kyai Tunggul Wulung mengabarkan
berita Injil di situ kemudian tumbuh
kelompok Kristen baru
>> Kyai Tunggul Wulung (=’Suryo Menggala’?) dari Gunung Kelud --- >
ngelmu kebatinan;
Dari bawah tikar semedi mendapat/menemukan Dasa Titah -- > Wangsit ke hutan Majapahit/
ke Mojowarno >>> menemui Jellesma yang sudah pindah dari Surabaya
((beberapa bulan menjadi murid/ berguru))
Dari bawah tikar semedi mendapat/menemukan Dasa Titah -- > Wangsit ke hutan Majapahit/
ke Mojowarno >>> menemui Jellesma yang sudah pindah dari Surabaya
((beberapa bulan menjadi murid/ berguru))
= > Tunggul Wulung ini salah seorang tokoh yang berilmu ( Tidak seperti
kebanyakan
orang-orang muda Jawa lainnya : Masih kosong) yang ikut babat alas Waru (Swaru),
Ia berani potong pohon-pohon besar !
orang-orang muda Jawa lainnya : Masih kosong) yang ikut babat alas Waru (Swaru),
Ia berani potong pohon-pohon besar !
= > Sharing / meguru salah satunya dengan Jellesma sebelum berkelana
(=berpindah-pindah
tempat); (Ada yang mengikuti) ...>>>
beda dengan tokoh Jawa Timur yang makrog/
menetap : Paulus Tosari
menetap : Paulus Tosari
= > Tunggul Wulung di mana-mana kabarkan
Injil dan ada orang-orang yang tertarik
= > Dari Kelud ke Utara -- > Ngantang -- > Kasembon --- > Malang
--- > Mburing
-- > Tumpang -- > Talang Suko -- > Dimoro/ ‘Sudimoro’ (Kepanjen) ---- >
buka hutan di Pelar ( ‘Balearjo’) --- > Clumprit, Gunung Kendeng, Pager Gunung
-- > Tumpang -- > Talang Suko -- > Dimoro/ ‘Sudimoro’ (Kepanjen) ---- >
buka hutan di Pelar ( ‘Balearjo’) --- > Clumprit, Gunung Kendeng, Pager Gunung
¨
Ada kelompok
Kajung (‘Pujon’ ?) dan kelompok Jenggrik (‘Dinoyo’ : orang membuat
kwali (=Sekarang: Keramik); (Jarak dari kota Malang 2 pal= 3 km/ 1 pal= 1,5 km)
kwali (=Sekarang: Keramik); (Jarak dari kota Malang 2 pal= 3 km/ 1 pal= 1,5 km)
¨
Junggo
dekat Pandaan dan Dimoro, Pelar dekat Kepanjen
<> Kelompok-kelompok Kristen
tumbuh tapi Tunggul Wulung sendiri
belum di baptis
¨
Sendiri/
berbondong-bondong ? setelah ‘dapatkan orang-orang percaya/ jadi Kristen
> buka hutan Pelar ( Pelar cocok untuk pemukiman = 20 orang), di Pelar sudah dibangun
rumah ibadah sederhana dari bambu –lebih baik sedikit/ rapi dibanding rumah warga
> buka hutan Pelar ( Pelar cocok untuk pemukiman = 20 orang), di Pelar sudah dibangun
rumah ibadah sederhana dari bambu –lebih baik sedikit/ rapi dibanding rumah warga
¨
Tunggul Wulung : Menetap dipelar selama 7-8 bulan dimana tahun 1855 dikunjungi
Jellesma > ( membaptis orang-orang Dimoro dan ada orang Pelar juga)
Jellesma > ( membaptis orang-orang Dimoro dan ada orang Pelar juga)
Kegiatan kesaksian Kyai Tunggul
Wulung dapat disimpulkan kemungkinan besar tidak ia lakukan sendirian di dalam ia
berkelana/ berpindah-pindah tempat. Di
daerah Malang tumbuh kelompok Kristen Jawa baru (Kajung- Pujon; Jenggrik-
Dinoyo; Dimoro- Kepanjen; Pelar- Balearjo). Maka untuk memelihara dan merawat,
melayani kelompok yang baru tumbuh ini Jallesma mengutus atau menempatkan murid-muridnya dari Mojowaro di masing-masing tempat.
Selanjutnya demi merawat dan mengembangkan kelompok-kelompok Kristen di Malang : NZG mengutus dan menempatkan tenaga Zendeling di Malang yaitu S.E Harthoorn. Selanjutnya dari kesaksian ataupun laporan-laporan mereka : Sejarah dari desa dan Jemaat Swaru bisa dilacak/ dirunut jejaknya
Selanjutnya demi merawat dan mengembangkan kelompok-kelompok Kristen di Malang : NZG mengutus dan menempatkan tenaga Zendeling di Malang yaitu S.E Harthoorn. Selanjutnya dari kesaksian ataupun laporan-laporan mereka : Sejarah dari desa dan Jemaat Swaru bisa dilacak/ dirunut jejaknya
Dusun Dimoro dan Dusun Pelar dalam
sejarah desa dan Jemaat Swaru merupakan batu loncatan lahirnya desa dan Jemaat
Swaru
>> Kita masih belum
membicarakan adanya atau munculnya Swaru ketika Zendeling S.E
Harthoorn
melakukan kunjungan ke dusun Pelar pada bulan Juli 1859 dan setelah itu ia tidak membuat
laporan tertulis lagi ini memberikan dugaan rupanya S.E Harthoorn tidak melaksanakan tugasnya
dengan baik.
melakukan kunjungan ke dusun Pelar pada bulan Juli 1859 dan setelah itu ia tidak membuat
laporan tertulis lagi ini memberikan dugaan rupanya S.E Harthoorn tidak melaksanakan tugasnya
dengan baik.
>> Dari tahun 1859
sd 1868 ( 9 tahun) tidak ada laporan tentang dusun Dimoro dan Dusun Pelar ke
Zending
>> Ada laporan Zendeling C. Poensen 1868 kepada
Zending yang menyatakan bahwa dirinya diutus
menjadi konsulen untuk kelompok-kelompok
Kristen di Malang mulai tahun 1862.
Laporan C. Poensen berupa statistik dan menyebutkan nama Swaru sejak 1864
Penjelasan cerita :
= > S.E Harthoorn pernah melakukan perjalanan ke Ngigit dan Pulung dowo
(sebelah Tumpang)
= > S.E Harthoorn pulang ke negeri Belanda 1862 tetapi pada 1 Januari
1862 masih ke
Dimoro dan Pelar bersama penggantinya Cornelis
Poensen yang baru datang pada
bulan Desember 1861 di Surabaya terus ke Mojowarno terus
ke Malang
= >
S.E Harthoorn naik kuda
kecebur di kali Bureng tersangkur akar--- >
bayangkan bagaimana keadaan jalan dan medan sulit ( waktu jarak tempuh Malang - Swaru :
7 jam lamanya )
bayangkan bagaimana keadaan jalan dan medan sulit ( waktu jarak tempuh Malang - Swaru :
7 jam lamanya )
= >
Alasan S.E Harthoorn minta
pulang karena beda pendapat (prinsip) dengan Zending/
Badan yang mengutusnya: Ada ketidak cocokan/ tidak enak dengan metode penginjilan
yang ditetapkan (=Metode penginjilan model Jellesma)
Badan yang mengutusnya: Ada ketidak cocokan/ tidak enak dengan metode penginjilan
yang ditetapkan (=Metode penginjilan model Jellesma)
= >> (= C.Poensen saat itu belum
pandai berbahasa Jawa, makanya dia belum bisa
membuat tulisan atau laporan ?)
membuat tulisan atau laporan ?)
=
>> C. Poensen di tempatkan di Kediri dimana jemaat di sana sudah
berkembang dan mandiri
yang dibuktikan dengan telah berdirinya rumah ibadah (Jemaat Maron dan Jemaat Aditoya)
(=bandingkan di Malang baru tempat ibadah sederhana di dusun Pelar). Maka C. Poensen
yang dibuktikan dengan telah berdirinya rumah ibadah (Jemaat Maron dan Jemaat Aditoya)
(=bandingkan di Malang baru tempat ibadah sederhana di dusun Pelar). Maka C. Poensen
direncanakan untuk ngopeni
(Jadi konsulen) Malang
=
>> 1864 C.Poensen dari Kediri datang ke Dimoro dan Pelar ( Baru belajar
menulis membuat
laporan); (di Pelar Laki: 15, Perempuan
3)
Kesimpulan :
* Pekabaran Injil saat itu dengan buka hutan >> jadi desa >> jadi Gereja
* Pekabaran Injil saat itu dengan buka hutan >> jadi desa >> jadi Gereja
*. Pada kunjungan terakhir S.E Harthoorn belum disebut-sebut
tentang adanya Swaru dan Pelar
masih pada taraf awal dengan dibuatnya rumah ibadah sederhana
masih pada taraf awal dengan dibuatnya rumah ibadah sederhana
* Menurut sumber tulisan Mbah Marius : 2 anak laki-lakinya dari Tumpang di bawa
ke Pelar
ke Pelar
(Bersambung)
baca juga http://rancangankotbahminggu.blogspot.com/2013/12/kilas-balik-jemaat-di-suwaru.html sebagai hasil penelusuran materi sejarah desa dan jemaat Suwaru atau Swaru yang terlebih dahulu dimengerti
PERTEMUAN II
Kamis, 12 Juni 2014
Oleh siapa desa Swaru ini dibangun ?
Jawabannya adalah Desa Swaru dibuka oleh orang Kristen Jawa di Malang terutama orang-orang Kristen di Pelar ( yaitu orang-orang Kristen yang menemui C. Poensen dengan perjalanan 100 pal = 150 km).
baca juga http://rancangankotbahminggu.blogspot.com/2013/12/kilas-balik-jemaat-di-suwaru.html sebagai hasil penelusuran materi sejarah desa dan jemaat Suwaru atau Swaru yang terlebih dahulu dimengerti
PERTEMUAN II
Kamis, 12 Juni 2014
Oleh siapa desa Swaru ini dibangun ?
Keadaan kelompok Kristen Pelar :
1.
20
Jiwa ( 15 orang laki-laki, 3 orang perempuan, 2 anak); 15 orang yang ingin
mendapat baptis (4 orang laki dan 1 perempuan tidak lulus dalam percakapan
dengan Jallesma); 11 orang dibaptis di Dimoro.
2.
Jallesma
dan Harthoon setelah melakukan babtisan di Dimoro melakukan perkunjungan ke
rumah-rumah warga di Pelar
I.
Tunggul
Wulung 7-8 bulan di Pelar memperluar wilayah dengan membabat hutan di
sekitarnya (awal 1855 sd akhir 1855). Tunggul Wulung ‘yang berilmu tinggi’ ikut
‘babat alas’ alas waru-- > jadi nama Swaru
Pembukaan hutan ada ijin dari pemerintah
Belanda dan aturan tebang pohon; Contoh Harus ada hutan lindung/ pohon-pohon di
pinggir jalan/ ‘keliran’…
II.
>Tokoh-tokoh
lain yang berjasa/ ikut babat alas ( Zakeus; … Krama; Andrian; Krama .. (murid
Bernadus)); bersama berapa warga Pelar terlibat ikut babat alas (?).
(1.
Pasca
babat alas bedol desa, catatan di Pelar tidak ada lagi warga Kristen tapi
beberapa
waktu kemudian tercatan ada 1 orang
warga- perkiraan ia kembali ke Pelar karena ada sesuatu hal dengan kelompok
‘gerombolan’ di Swaru.
2.. Embrio desa == > Kepala desa pertama Zakeus
setelah babat alas (mungkin sekali kita selama ini belum mengenalinya,
sebab secara administrasi pemerintahan Belanda dikenal kepala desa ‘resmi’/
aris : Kromo seco)
>Ada intrik perbedaan pendapat /
pandangan terkait psykologi- karakter tokoh-tokoh;
Zakeus/ Zankius/ Zangkioes
orangnya ‘mumpuni’ sehingga ia dijadikan kepala desa; tubuh kecil; Jenaka/ riang/ pemberani -- > Rumahnya di atas jurang
Andrian (Saudara laki-laki dari
Bernadus dari Mojowarno) orangnya berpenampilan
‘kalem’; tanpa emosi; tidak begitu
berkembang; tidak pandai tetapi bisa beri jalan
keluar
dari persoalan dan punya pengaruh besar atas warga Swaru; cara
berbicara
‘mbapaki’/’momong’
Kromo … (murid Bernadus)
orangnya aktif kreatif; rajin; cekatan; mudah kerja
sama dengan siapa saja; orang yang harus
dikendalikan karena bisa bersikap keras
dan kaku; selalu siap di sampng Zendelling
dalam segala hal
Mangoen … (murid Zendelling
Kruijt dan Zendelling Roskes ) orangnya maju; bisa
menulis/ penulis -- > penulisan data
pasien dan mempersiapkan obat-obatan; agak malas
Zacharias (pernah menemani
Zendelling C.Poensen) orangnya aneh/ khas; tidak bisa menulis; tidak bisa membaca; rajin
Pekabaran Injil di Kediri yang dianggapnya mudah (di Swaru/ Malang sekarang, tidak)
III.
Zendelling S.E
Harthoon
dan Zendelling H Smeding, Sabtu siang mampir ke Pelar dalam perjalanan ke
wilayah pekabaran Injil Kediri (Madiun dan Mojokerto 9 sd 29 Juli 1859),
Berangkat dari Malang ditemani Guru Injil Soleman- melewati hutan sampai di
dusun Pelar. Kelompok Pelar kecil (warga 25 orang). Warga Pelar berkumpul &
menyambut di rumah Guru Injil Andrian—(malam) bertemu adakan percakapan;
membangun ibadah- menyanyi dari buku nyanyian dari Jallesma dan tembang Jawa;
Mempercakapkan Doa Bapa Kami >>>(pagi hari,Minggu) adakan ibadah di
gereja gedeg (bambu); (Satu-satunya gereja di wilayah kerja penginjilan Malang;
>>> (Minggu Siang) meninggalkan Pelar menuju Kepanjen, bermalam
(Keesokan hari) >> menuju Sumberpucung ke arah Kediri
Catatan : Zending (Saat itu ada keinginan untuk menyatukan warga Kristen di kelompok-kelompok wilayah Malang (Jenggrik, Kajang, Junggo, Nginggit, Dimoro) jumlah warga masih sedikit di setiap kelompoknya itu ke dalam satu tempat tinggal di satu desa’. Kelompok Kristen di Malang berbeda dengan kelompok-kelompok Kristen di Kediri
Catatan : Zending (Saat itu ada keinginan untuk menyatukan warga Kristen di kelompok-kelompok wilayah Malang (Jenggrik, Kajang, Junggo, Nginggit, Dimoro) jumlah warga masih sedikit di setiap kelompoknya itu ke dalam satu tempat tinggal di satu desa’. Kelompok Kristen di Malang berbeda dengan kelompok-kelompok Kristen di Kediri
IV.
1860
– 1862 Tidak ditemukan laporan tentang kelompok Kristen Dimoro dan Pelar.
>>>Januari 1862 Zendelling Harthoon menemani Zendelling C.Poensen
sebagai tenaga baru melakukan kunjungan kerja ke wilayah pekabaran Injil Malang
(Kunjungan singkat sebagai perkenalan lapangan, belum dibuat laporan tertulis)
((Swaru desa penginjil … oleh kelompok
awal/ cikal bakal jemaat))
V.
>>Tahun
1862 – 1863 adalah waktu prakiraan Desa
Swaru dibangun/ dihuni oleh
orang-orang Kristen sekitarnya dari Pelar, Dimoro dan beberapa orang Jenggrik (Berdasar
perkiraan kronologi waktu yang dapat kita susun)
>>Tahun 1864 tidak lagi disebut
dusun Pelar dan Dimoro pada laporan Poensen
Januari 1864 Zendelling C.Poensen
melakukan kunjungan ke-2 ke Malang dari Kediri,
membuat laporan pendek :
1. Tentang keadaan wilayah pekabaran Injil
Malang.
2. Menyebut nama desa Swaru.
3. Membuat laporan statistic warga Swaru
111 orang, L=25 P=28 Anak-anak 58;
(Jenggrik 24 orang, L=8 P=7 Anak-anak 9;
Nginggit 15 orang, L=5 P=2 Anak-anak 8)
Ada beberapa hal
yang dapat dicatat :
1>1862-1867 Swaru hanya
ditunggui oleh tenaga pembantu
Zendelling Andrian.
2>Semangat bersaksi dan
kesetiaan akan kebenaran TUHAN YESUS warga Swaru
sangat luar biasa
sehingga jumlah warga Kristen desa Swaru bertambah-tambah.
=>> (Jumlah Zendelling / Pendeta Zending di Jawa Timur saat itu sedikit sekali maka dikatakanlah
keadaan Swaru ini adalah sisi kelam dari sejarah zending di Jawa karena Swaru
untuk beberapa tahun (… tahun) tanpa tenaga Zendelling.
Pada kunjungan 1862 Poensen sudah mengatakan
bahwa ia tidak mungkin lagi menjadi konsulen di Swaru itu disebabkan oleh
karena jarak antara Kediri ke Swaru terlalu jauh (Menempuh jarak 100 pal = 150
km; 1 pal = 1,5 km --- > dengan gambaran 23 pal = 35,5 km ditempuh sehari
perjalanan === > maka jarak tempuh 100 pal : 23pal = 4,23 hari)
=>>Warga Swaru yang ingin dibaptis
dan mendapat peneguhan perkawinan harus melakukan perjalanan jauh ke Kediri (
150 km )
=>>Warga desa Swaru yang masih
tergolong baru ini mewujudkan pelayanan cinta kasih melalui bidang pendidikan dan juga mengupayakan
pendirian sebuah gedung gereja yang terletak di perempatan jalan desa
(Pembangunan gedung gereja dan penyelenggaraan pendidikan diutamakan seperti
halnya dahulu ketika masih berada di Pelar). Warga Swaru bisa melakukan
semuanya itu karena percaya penuh pada
kekuatan ROH KUDUS dan Kuasa kebenaran TUHAN YESUS
>> Tahun 1869: Ada pertanyaan yang
sengaja dibuat oleh Zendelling Johannes
Krijt dalam laporan pekujungannya ke Swaru
juga sangat penting bagi kita atau siapa saja yang ingin tahu terhadap
keberadaan Swaru : Oleh siapa desa Swaru ini dibangun ?.
Jawabannya adalah Desa Swaru dibuka oleh orang Kristen Jawa di Malang terutama orang-orang Kristen di Pelar ( yaitu orang-orang Kristen yang menemui C. Poensen dengan perjalanan 100 pal = 150 km).
>>Tahun 1869 di Pelar ada 1 orang laki-laki, berdasarkan laporan statistik
Poensen)
1869 (Berdasarkan laporan Zendelling Johannes Krijt ketika
melakukan kunjungan ke Jemaat swaru)
Swaru sebuah
desa baru kurang lebih 60 0rang dewasa laki dan perempuan
Swaru sebuah desa terang cerah bercahaya
terletak di daerah yang menguntungkan, daerah subur, segala sesuatu yang
dibutuhkan para petani Jawa tersedia, utamanya air. Tanah di buat persawahan.
Tanpa kesulitan orang mengalirkan air meskipun di daerah berbukit-bukit- naik turun
Warga Swaru tampak sebagai orang yang
baik-baik dan rajin terhadap segala upaya membuka desa. Satu persatu tanah
garapan dibangun/ diatur sesuai dengan budaya Jawa.
Desa Swaru ini bagus pekerjaan
pembangunan dilakukan agak secara besar-besaran. Hal ini terlihat dari cukup
banyaknya pekerjaan membuka jalan-jalan yang lebar.
Pertanyaan bagi kita atau siapa saja
terhadap keberadaan Swaru : Oleh siapa desa
Swaru ini dibangun ?.
Desa Swaru dibuka oleh orang Kristen Jawa di Malang terutama orang-orang Kristen di Pelarlah yang membuka ( orang Kristen yang menemui C. Poensen dengan perjalanan 100 pal = 150 km).
Desa Swaru dibuka oleh orang Kristen Jawa di Malang terutama orang-orang Kristen di Pelarlah yang membuka ( orang Kristen yang menemui C. Poensen dengan perjalanan 100 pal = 150 km).
VI.
1867
: Laporan Zendelling C.Poensen (Jenggrik 24 orang sudah baptis, L=8 P=8
Anak-anak 8 --16 orang ingin baptis;
Swaru 110 orang sudah baptis, L=22 P=25 Anak-anak L=27 P=36 --- yang ingin
baptis anak-anak L 15 P=15 ; Ngigit 13 orang sudah baptis, L=5 P=3 Anak-anak
L=5 P=0 --- yang ingin baptis 13, dewasa
L=2 P=3 Anak-anak L=4 P=4)
Di Swaru sudah dibuka sekolah setiap
hari, jumlah murid 32, L=15 P=18
VII.
Poensen
tidak bisa menjalankan tugas konsolen dengan baik karena terkendala jarak Swaru
– Kediri cukup jauh’
Poensen tidak pernah berkunjung ke Swaru
sejak 1864
Kelompok Kristen Swaru tanpa tenaga
Zendelling Belanda masih dapat hidup dan berkembang.
Poensen menuliskan dan dalam
surat-suratnya kepada NZG/ Badan Pekabaran Injil Belanda tentang keluhan-keluhannya
atas Swaru :
1.Minta (berharap) dikirim tenaga
Zendelling untuk Swaru --- > Akhirnya terwujud harapan dengan ditugaskannya
Johannes Kreemer
2.’Kita tidak bisa memuji kesadaran/
kesetiaan mereka (Kelompok Swaru). Sebelum kita melihat lebih jauh iman
Kristen mereka… dengan pendidikan tertentu akan lebih baik lagi, saya kira
bahwa masih jauh waktunya untuk disebut sebagai suatu Jemaat. Dan hal itu akan
bisa terwujud jika warga mulai mempercayai pendeta. Sebenarnya banyak jalan di
depan kita untuk mewujudkan harapan kita atas bangsa Jawa ini. Jika saja kita
mau berjalan bersama dengan mereka sampai akhir.Tetapi kita tidak bisa
melaksanakan tugas/pekerjaan besar ini dengan mengandalkan kekuatan sendiri …
menyenangkan jika penuh rasa syukur. Saya siap menceritakan kepada anda
perjalanan kunjungan kerja yang pertama saya ke Swaru. Saya tinggal di sana
selama 10 hari berturut-turut. Perlu anda ketahui bahwa yang akan saya kerjakan
dan saya lihat dan perhatikan setiap hari
Catatan : 12 tahun (
1862 – 1874) masa tanpa pendeta zending/ Zendelling == >
1.(Pada masa 12 tahun tanpa pendeta
zending:) Jumlah jiwa bertambah 2 kali lipat
setelah dikurangi dengan banyaknya warga meninggal dunia; Beberapa orang
mundur/
tidak setia.
2.(Pada masa 12 tahun itu:) Kelompok
Swaru dibiarkan sendiri maka dapat
dibayangkan betapa beratnya perjuangannya hidup di tengah-tengah masyarakat lain kepecayaan.
3.(Selama masa 12 tahun itu:)
kelompok Kristen Swaru selalu kecewa ketika berharap untuk memiliki Zendelling
(Pendeta) sendiri.
4.(Pada masa 12 tahun itu:)
Tugas Guru Injil sangatlah berat ketika banyak warga yang
ingin dibaptis dan akan
menyerahkan perkawinan karena dalam setahun Guru Injil
harus mengantarkan mereka
semua ke Kediri bisa 3 – 4 kali dengan menempuh
perjalanan yang berat
terlebih pada musim/ cuaca buruk- hujan
VIII.
1869
: Laporan Kunjungan Zendelling Johannes
Krijt ke Jemaat swaru ketika mengikuti Zendelling C.Poensen kepada NZG/
Jemaat-jemaat di Belanda
27 Juni 1869 : 5 orang (C.Poensen,
J.Kruijt, Silvanus- pembantu Zendelling di Maron dan 2 orang murid C.Poensen)
berkuda berangkat dari Mojowarno (Salah satu kuda adalah milik almarhum Jallesma—Jallesma
meninggal karena sakit desentri) dengan rute : Kertorejo -- > Ngoro -- >
Kandangan -- > menembus hutan ke arah
Ngantang -- > Bat u terus Jenggrik -- > Malang -- > Swaru
Sekarang lihatlah gedung gereja mereka,
terletak di tempat khusus yang dikelilingi pagar dan tentu saja berada di
tengah desa. Hal itu menunjukkan betapa kuatnya iman dan perhatian
mereka pada agama Kristen. Gedung gereja itu setiap minggunya dipenuhi
warga jemaat dan di Swaru ini kami menjumpai 11 orang dewasa dan 51 anak-anak
yang akan diajukan baptis.
Sementara itu pembantu Zendelling
Andrian setiap harinya dengan rajin mengajar 30 anak-anak di sekolah. Apakah
hal itu bukan sesuatu yang luar biasa ?
Teman-teman yang baik , jika saya
mengirim kabar pada anda tentu anda akan heran bahwa ketika saya hadir dalam
kebaktian minggu yang dipimpin Zendekling Poensen dengan liturgi yang khidmat
seperti yang juga dilakukan di Jenggrik. Tahukah anda berapa orang yang hadir ?
62 orang dewasa !
Karena itu kami mohon segeralah kirimkanlah
tenaga Zendelling ke Malang (Swaru)
IX.
1874
: Dengan kedatangan/ ‘ditunggoni’ Swaru
oleh Zendelling J.Kreemer == > Swaru ‘menjadi’ sebuah Jemaat ‘pribumi’ di
Jawa
25 tahun yang lalu (1849 ?) Swaru sudah
di kenal orang-orang di Karesidenan Surabaya berdiri Jemaat Mojowarno
dan di Karesidenan Pasuruan
12 tahun ( 1862 – 1874) tanpa didampingi
Zendelling/ pendeta zending
Kedatangan
I kali Zendelling Johannes Kreemer di Swaru
(bersambung….
)
Perenungan :
1.Bagaimana keadaan dan semangat Swaru
sekarang ketika tanpa ‘ditunggoni’ pendeta ?,
dan
2.Bagaimana keadaan dan semangat swaru
sekarang ketika sudah ‘ditunggoni’ seorang
pendeta ?
3.Bukankah kisah di atas
merupakan suatu kisah sejarah yang sungguh sangat luar biasa
dengan iman yang kuat dan
sebagainya, dan sebagainya… Jemaat Swaru bisa berdiri
4.Sadarkah kita bahwa pada
masa lampau membangun desa ini dengan iman dan dengan
kekeristenan ?
5.Tidak banyak Zendelling mau
di kirim dari negeri Belanda ke Swaru/ Jawa pada saat
itu
Meskipun kita mengenali beberapa nama :
1) Jallesma;
2) S.E Harthoorn
(beda pendapat tentang metode penginjilan dengan Zending);
3) C.Poensen
(konsulen);
4) Johannes Kreemer (Pendeta Jemaat)
Pertemuan III
Kamis, 19 Juni 2014
1
Kedatangan I : Zendelling Kreemer di Swaru
20 Maret 1874
pagi-pagi buta dari losmen di kota Malang Kreemer berangkat ke Gondanglegi
dengan kereta sewaan milik orang Cina seharga f 28.
Demikian catatan perjalanan yang ditulis Kreemer …
Jalan ke arah Gondanglegi
berada di atara pohon jati yang sedang berbunga, pandangan mata ke kanan tampak
gunung Kawi ke kiri tampak gunung Semeru yang mengepul kukusnya. Sungguh indah
!. Menjelang masuk Bululawang terlihat pemandangan yang indah yaitu bentuk
de Meri … Setelah pukul 12 siang tidak terasa kami hamper sampai tujuan.
Seorang
laki-laki Jawa berkuda bersenjata untuk
melindungi diri tiba-tiba mendekati saya. Berkata :”Kita sudah dekat Swaru”. Ia
adalah saudara-saudara dari desa Swaru yang menjemput pendeta/ Zendelling .
Sebelum saya naik ke pelana kuda, saya berkenalan dengan salah seorang
berperawakan kecil. Ia bernama Zankioes/ Zakeus ia tampak pemberani, riang,
jenaka tetapi sangat siaga. Kudanya berjalan dekat di belakang kuda saya,
dengan posisi demikian kami terus sibuk bercakap-cakap. Sesudah berjalan 3 pal
(4,5 km) perjalanan, kami mencongklang kuda dengan cepat, salah satu dari
rombongan kami berjalan memimpin di depan. Di sana di jalan masuk di antara
pepohonan ada seseorang yang mengintai kedatangan kami, kemudian terdengar
letusan senjata : sebagai satu gambaran kegembiraan !. Kuda saya dibuat
terkejut. Datang dengan cepat untuk meraih tali kekang kuda saya dan menuntun
kuda saya sampai ke rumah Guru Injil. Di sana ada kejutan lagi : 80 murid
sekolah menunggu kami dengan berpakaian rapi bebaris 2 banjar, menabur bunga
dan menyanyikan lagu selamat dating di pimpin oleh seorang guru- yang dulu ia
adalah murid saya di Mojowarno. Suara mereka terdengar sangat gembira dan penuh
kasih dalam kesederhanaan serta penuh ketegangan melantunkan lagu sambutan
terhadap pendeta yang dating dari Mojowarno kiranya dapat bekerja sama dengan
kami. Kiranya kedatangannya bersama isteri diberkati Tuhan untuk waktu yang
lama dapat menggembalakan kami …
Selanjutnya
saya berkenalan dengan semua warga Swaru yang berkumpul di rumah Guru Injil.
Mereka kelihatan sangat bahagia, bahkan besoknya ada yang datang lagi dengan
membawa buah-buahan miliknya dengan mengucapkan : “Selamat datang”. Saya terus
menemui untuk waktu yang lama mereka karena kegembiraan saya dan karena rasa
syukur saya kepada Tuhan yang mempertemukan saya dengan mereka. Saya juga
berterimakasih atas penyambutan yang menyenangkan. Seorang dari mereka maju ke
depan dengan sikap membungkuk khidmat dan sangat sopan.
---------
2
Siang
hari saya berkunjung ke sekolah, begitu para murid melihat saya dating langsung
berkumpul. Keadaannya sangat menyedihkan, tapi toh menimbulkan rasa heran saya
bahwa dalam keadaan yang begitu menyedihkan. Saya melihat mereka tetap dapat
belajar dengan giat. Sebagian besar dari mereka telah mengenal huruf dan bisa membaca, berhitung. Tapi pada waktu
saya melihat tidak seluruhnya bisa berbahasa Melayu. Buku-buku pelajaran tidak
ada, alat-alat tulis/ grip dan kertas dan meja tulis tidak ada. Sebagian besar
anak-anak duduk berhimpitan di tanah yang lembab di ruang yang sempit. Papan
tulis tidak ada. Apalagi peta maupun alat-alat peraga. Mereka terlalu berharap
berlebih atas kemampuan dan tugas guru yang hanya digaji f 10 dan f 5 per
bulan. Saya tidak bisa membayangkannya !.
Maka
nanti ketika saya sudah tinggal di Swaru,saya akan mengajar di sekolah tiap
hari. Dan gaji guru harus dinaikkan. Kalau tidak, maka di sana kan terjadi
seperti di Mojowarno : Guru mengajar di sekolah dengan tidak melakukan
persiapan; semuanya disebabkan dia harus bekerja mencukupi kebutuhan keluarga
dengan mencari kayu bakar, ngarit/ ngrumput dan lain-lain yang sebenarnya semua
itu pekerjaan seorang kuli.
Tentu
saja para pembantu Zendelling (para guru) seluruhnya tertarik pada pekerjaan
kasar dan itu tentu tidak baik. Kita harus menyadari dan memahami mereka dengan
pekerjaan rumah yang membuat mereka tidak bisa konsentrasi pada pekerjaan
otak sebagai guru. Sekolahan di Swaru bisa
disebut primitif. Semua alat-alat belajar tidak ada. Dari NZG (Badan Pekabaran
Injil Belanda) tidak mengirimkan apa-apa. Saya di sini haru membeli segala
keperluan belajar itu di Surabaya, tentu dengan harga yang mahal. Maka saya
mohon untuk dikirimi segala keperluan sekolah, baik papan tulis, bangku dsb.
Saya mohon teman-teman di Nederlang bisa membantu.
Di
Swaru ada permintaan untuk membuka Taman kanak-kanak karena ada 35 anak-anak
usia 4 – 6 tahun. Saya berjanji akan memikirkannya. Dengan keyakinan penuh,
saya berjanji bahwa aka nada pembukaan dan kelanjutan yang akan saya lakukan. Kesulitan utama bukan
pada soal biaya melainkan pada soal mencari guru TK
Sekeluar
dari sekolah, saya sudah ditunggu antrian orang-orang sakit yang akan berobat.
Setelah mencatat nama-nama mereka, tempat tinggal, usia, keluhan sakitnya,
sudah berapa lama dan sebab-sebabnya. Saya mengobati mereka satu persatu-satu
sesuai dengan tujuan saya dating ke Swaru. Di sini menggunakan metode
sebagaimana saya gunakan di Mojowarno pada tahun 1873. Saya berikan kepada 2500
pasien dan hamper 6400 kali obat-obatan meningkat. Dalam mengerjakan pelayanan
orang sakit ini saya dibantu oleh seorang yang bernama Mangoen mantan murid
Zendelling Roskes
Sesudah
makan siang dan istirahat. Acara selanjutnya saya berkunjung ke rumah Zankius.
Rumahnya terletak di tempat tinggi dekat dengan jurang di tengah desa. Saya
mengundang semua orang Swaru untukdatang ke rumah Zankius. Mereka berkumpul
memenuhi pendapa. Pendapa rumah Zankius lebih luas jika disbanding dengan
gereja apalagi sekolahan. Kami saling mengucapkan terima kasih atas kebersamaan
yang memberikan harapan dan memberikan banyak bahan pikiran demi kebaikan desa
dan jemaat. Petremuan saya akhiri dengan membacakan Filipi 2 : 1 – 11
Dilanjutkan
dengan acara jalan-jalan keliling desa dan diikuti oleh orang banyak. Bentuk
desa yang teratur. Kira-kira berbentuk empat persegi panjang dengan luas
masing-masing berbentuk sangkar dipotong jalan
dengan pagar hidup yang luas, di sini di sana pagar kopi rapat
menjuntai. Sayangnya masih banyak halaman rumah yang masih belum dimanfaatkan.
Memang sudah ada beberapa yang menanami pohon buah-buahan. Tetapi masih banyak
yang belum menanam pohon kopi sepanjang pagar mereka, juga jalan-jalan desa yang
lebar tidak semua terawatt dengan baik. Sebetulnya kebiasaan malas masih ada…..
Mereka tampak tanpa kemauan keras, tidak ada daya tahan yang cukup
21 Maret, sesudah
menangani pasien yang sakit kami berangkat ke Tanah Wangi, sebuah pesanggrahan,
perkebunan yang baik terletak kurang lebih setengah jam perjalanan dari Swaru.
Hal itu saya lakukan untuk mengenal keadaan sekeliling Swaru. Dalam perjalanan
ini saya hanya ditemani oleh Andrian, Kromo dan Zankius. Setelah berjalan
sepanjang desa, kami sampai di sebuah jurang di mana di dalamnya terdapat
sumber air minum yang bening. Permukaannya tampak sangat dalam di tepi tebing
apalagi dengan latar belakang hutan, orang tidak bisa menggambarkan betapa
cantiknya. Di seberang jurang masih belum ada jembatannya, dan dari sisi yang
licin membuat orang harus waspada dan berhati-hati untuk menuruni atau
menaikinya. Akhirnya kami toh sampai di atas. Di tempat ini Zankius menawari
saya untuk membangun rumah/ pastori. Ia berkata kepada saya :”Tuwan jika suatu
saat nanti Tuwan akan mendirikan pastori di sini (Swaru), tempat lokasi itu
menjadi salah satunya yang menurut kami cocok
untuk bagian depan”. Antara kaget dan kagum saya menjawab : “Ya, saya
sekarang akan pertimbangkan hal itu”’ Ia melanjutkan bicaranya :”Dari sini orang
akan kembali melewati suatu lurung (jalan) yang lebar dan kuat sejajar dengan
desa”. Dengan kagum saya menjawabnya :”Tobat, tobat !. Kedengarannya rencana
itu bagus. Lalu semua itu dibuat oleh siapa ?”. “Oleh kami”: Jawabnya. Kami
memiliki tanah di seberang tetapi oleh desa kami ditarik dan oleh
saudara-saudara kami yang lain kemudian ditempatkan di sini”. “OK, Zankius
sungguh bagus partikelmu, dengan cara itu kamu bisa mendapatkan tempat tinggal
yang ‘omber’ (luas) dan tambahan tanah yang lebih luas”. Melalui jalan
melingkar akhirnya kami sampai pada makasud jalan-jalan kami. Di akhir jalan
yang panjang yang kami lewati ditutupi oleh pohon/ tanaman kopi. Para mandor
yang ditugasi sebagai pengawas, pekerjaannya tiada lain hanya mengawasi 700
orang perempuan sedang bekerja memetik buah kopi yang mahal itu. Tanah Wangi
terletak di tempat yang bagus di pinggir sebuah danau, susunan perkebunannya
sudah teratur baik. Kandang-kandang yang bersih dan kering untuk tempat hewan
pengangkut (sapi, kerbau, kuda) kelihatan bersih dan dikerjakan dengan baik.
Saya bertanya kepada Andrian: “Apakah sampeyan melihat kandang-kandang itu ?.
kebersihan itu diperlukan agar kerbau-kerbau tidak berdiri di sekitar tinja
(tletong) maupun perutnya sampai terendam dalam lumpur”. Pikiran Andrian
melayang ke kandang sapinya yang kotor. Dan saya harap sesudah melihat
pengalaman ini kerbaunya akan dipelihara dengan baik. Kemudian saya berkata
:”Lihat kopi-kopi itu, berapa kira-kira untungnya, jika teman-teman di Swaru
menanam kopi. Tapi yahh… kita tidak akan kaya kalau kita tidak rajin bekerja”.
Tanah Wangi posisinya sangat indah terletak menghadap ke kedung air (semacam
danau) yang terbentuk oleh meluapnya air sungai. Di lingkupi gunung semeru dan
gunung Kawi, di seberang sana terhampar kebun kopi dari tanah Limbung. Pohon
dadap yang tinggi berdiri sebagai batas dengan tanah luar perkebunan. Kita
dapat (Saya) menyesalkan, bahwa ada kekayaan yang melimpah ini tidak dilakukan
untuk perbaikan dan perkembangan penduduk yang miskin tetapi malah
dieksploitasioleh perusahaan/ pabrik.
Sore
hari kembali ada kumpulan untuk persiapan beptis dan pencatatan perkawinan.
Meskipun tanpa gembala ternyata tidak berubah. Memang ada sepertiga warga yang
keluar karena perkawinan dengan orang berkeyakinan lain (mslm) dan sepertiga
lagi telah meninggal dunia. Hali itu tentu hasil kerja Zendelling Pensen bahwa
jumlah warga jemaat masih banyak. Hal itu toh juga sarannya dan juga bantuannya
bahwa warga kelompok-kelompok di Malang yang tinggal berpencaran kemudian atas
kehendak sendiri pindah masuk Swaru berkumpul menjadi satu dan membuka hutan
waru/ alas waru…………… (huruf Jawa)
Kita
sekarang mulai membuka buku/ regrister baptis selanjutnya buku tersebut
dikelola dengan baik, disimpan dengan benar
Minggu 22 Maret, sesudah
menangani pasien berobat saya mempersiapkan diri untuk memimpin ibadah yang
diselenggarakan di rumah Zankius. Persembahan terkumpul F 2,08. Kelompok Swaru
telah memiliki uang-dana (Uang gereja) f 100. Sebesar f 30 dipakai membeli
lumbung miskin untuk menyimpan hasil panen (presentrijst), kemudian bila harga
padi bagus bisa dijual dan uangnya untuk kebutuhan gereja. Saya menawarkan
kepada mereka untuk menyimpan uang tersebut di bank tabungan
Menjelang
malam harinya saya berjalan-jalan sendiri ke kuburan. Kuburan tampak teratur,
di sana telah dimakamkan 15 orang. Jika nanti banyak yang meninggal dunia maka
kuburan itu tentu cepat penuh dan sempit tetapi orang masih bisa membuka hutan
di sebelahnya untuk memperluas makam. Tiba-tiba orang-orang dating mencari
saya. “Wah ternyata Tuwan berada di sini”. “Jika menjelang malam kami (warga di
sini) tidak berani ke tempat ini, Tuwan”. Saya sangat berbahagia, ternyata
orang-orang Kristen di sini sangat
peduli dan mengkhawatirkan saya.
23 Maret, rencana kami
akan memulai kunjungan ke rumah warga tapi batal kaerna hujan. Selama di Swaru
saya tinggal di rumah Andrian yaitu sebagian dari rumahnya, meskipun telah
diperbaiki, toh masih banyak angin dan lembab. Saya memutuskan hari ini tinggal
di rumah saja untuk mengatur ruangan tempat saya menginap ini. Karena di rumah
ini tidak ada tempat membawa air, juga gedeknya bolong-bolong. Meskipun
orang-orang di sini telah mempersiapkan segalanya dengan sebaik mungkin bahkan
3 minggu sebelum ke datangan saya.
24 Maret, Kondisi badan
saya telah segar kembali, saya ditemani Zacharias, Zankius, Kromo dan beberapa
orang lagi berangkat ke Selatan Swaru. Kami akan mencari tempat tinggal yang
cocok/ tepat di Wono Lopo untuk orang-orang yang pertama. Sebab saat ini tempat
yang di Pager Gunung tidak hanya terlalu jauh dari Swaru tetapi juga karena
tempat itu berbatu-batu dan berpasir serta tidak menguntungkan. Sementara kami
berjalan kea rah Barat daya menyebrangi jurang selanjutnya menyebrang ke Sumber
Blingtak di Lesti. Air yang mengalir dari sumber ini terletak di atas yang
disebut jurang. Air ini menjadi air minum bagi warga Demangan, suatu desa di
perbatasan. Melalui bantuan dam Dawuhan (dam terbuat dari tanah dan bambu untuk
mengairi sawah mereka. Di sini dan sekitarnya masih hutan dengan pondok-pondok
didirikan di sini dan di sana. Di dekat sekitarnya terletak banyak desa yang
tidak terdapat dip eta Karesidenan Pasuruan. Sekitar 1 pal ke Barat terletak
Gongang, 2 pal ke Utara orang akan sampai di Pelar. Sesudah berjalan kira-kira
1 jam, orang akan sampai Demangan Lord an Demangan Kidul di tepi sungai Lesti
yang lebar. Sengguruh yang tampak dalam peta terletak kira-kira 5 pal ke Barat
dari desa kita Swaru. Nun jauh kea rah Selatan adalah gunung Kendeng yang
terkenal dengan kayu besinya (walikukun). Gunung ini terletak di belakang ujung
batas laut kidul, tempat Nyai Roro Kidul yang terkenal karena kejahatannya.
Kami
menyebrangi sungai Lesti yang indah, satu cabang dari sungai Brantas. Melewati
jembatan bamboo yang ringan tapi kuat. Di daerah ini pemandangannya sangat
indah. Di bawah derasnya arus, di batas ambang tepi air di tumbuhi tumbuhan/
rumput tropis yang tenal, bamboo, pakis dan pohon kelapa. Tidak jauh dari jalan
di mana air kali dangkal ada serombongan kerbau menyebrangi sungai, mereka tahu
tempat yang dangkal atau yang dalam. Mereka berjalan dengan kalem berbaris dari
depan ke belakang dan saling berdekatan sehingga mereka semua sampai di
seberang. Itu pemandangan yang tampak dari jembatan bambu tempat kami berdiri.
Tampak sebagai lukisan, sehingga membawa pikiran saya melayang ke Friesland
& Holland. Apakah teman-teman lamaku masih mengingat saya ?. kemudian kami
bisa mencapai tepi sungai di seberang. Kami melanjutkan perjalanan ke hutan
Lopo dan akhirnya kami sampai di hutan Lopo yang mengarah lurus ke Gunung
Kendeng. Banyak pohon-pohon besar di sini telah ditebang sehingga sungai Lesti
bisa tampak jelas. Jalan setapak yang kami lalui selanjutnya menuju Darungan,
sementara memasang tenda, ada kebebasan untuk para pembuka hutan dan ada
kebebasan untuk menemukan beberapa tempat, padi dan tembakau tetapi kebanyakan
adalah tembakau. Apakah tanah di sini cocok untuk tembakau yang laku/ laris
untuk dieksport/ dikirim keluar ; jutaan uang akan didapat. Hal seperti ini
bagi orang Swaru merupakan sumber penghasilan/ penghidupan. Di sana di kejauhan
tampak gunung Gamping dimana kami dimungkinkan untuk mengambil kalk/ gamping
sebagai salah satu bahan bangunan rumah.
“Bagaimana
pendapat Sampeyan Kang?” : Tanya Zankioes akhirnya kepada Zacharias ketika kami
sudah sampai pada suatu tempat yang pada
kedua sisinya dialiri oleh sungai kecil. “Apakah tempat ini tidak cukup baik
bagi kanca-kanca /teman-teman Sampeyan ?”. dulu di tempat ini pernah dihuni
orang dari Demangan, lihatlah pager-pager waru yang tinggi itu. Tetapi mereka
merasa kesepian sendiri lalu kembali ke Demangan”. Saya bertanya : “Apakah di
sekitar sini masih ada desa lagi, Zangkioes ?”. “Ya, Tuwan di sana di sebelah
Barat gunung Gamping ada Gondoroto dan di sebelah selatan Rantur (Bantur ?) dan
yang sudah agak besar/ ramai ada di sebelah Timur yaitu Culemprit”. “Baiklah,
Kyai Zacharias, semua terserah sama Sampeyan, sebenarnya daerah ini adalah
tempat suatu wilayah kerja yang bagus untuk seorang tukang Injil (evangelist)”.
Selanjutnya kami mencari tempat yang lain lagi yang lebih cocok, tetapi tempat
ini bukan tempat yang basah tetapi air dari Lopo dapat dialirkan melalui
darungan, tanahnya sebenarnya bukan tanah lempung yang berminyak yang sangat
lengket, melainkan tanah hitam dan dobel berbatu-batu. Untuk orang Jawa tanah
di sini dari kwalitet biasa yang cocok untuk tembakau dan padi gaga. Mungkin ia
(Zacharias) sendiri bisa membuka sawah di sini.
Gunung Gamping …
dialog Zankius dengan Zacharias …. Bertemu dengan seorang pembuat gula aren …..
di sini dialog Kromo dengan paman tersebut. Contoh cara ber PI ( halaman 263 )
Setelah
melewati sungai, kami duduk di atas terasan (tanggul/ pinggir kali)
berdampingan sedang yang lainnya tetap berdiri. Menurut pendapat kami Lopo
mengalir ke laut, kedua sisinya rimbun ditumbuhi tanaman. Dari sana dating
seorang lelaki berkulit gelap (cokelat) teman senegeri, ia berjalan lurus
sepanjang kali dengan memikul/ nengguluk bambu dipundaknya. Karena kami datangi
ia berhenti sejenak memandang kami dengan ramah dan bersahabat. Ia tidak tahu
apakah yang harus ia lakukan. Kromo bertanya :”Apakah Sampeyan tinggal di sini
Kang ?”. “Ya” : Jawabnya. “Apakah masih ada
orang lain lagi selain Sampeyan yang tinggal di sini ?”. “Ya hanya satu”.
“Apakah di sini Sampeyan mersa kesepian Kang ?”. “Ya …”. “Apakah Sampeyan
menginginkan ada teman-teman (orang lain) yang dating ke sini ?”. “Ya tentu
saja, mengapa tidak”. “Kalau begitu dengarkan ya Kang, kami ini semua orang
Swaru dan Tuwan itu yang mengenakan kacamata adalah pendeta kami. Ia baru saja
dating di tempat kami (Swaru) bersama kami. Dan sekarang harapan Tuwan saya
ialah apakah salah satu dari kami boleh tinggal di sini ?”. “Apakah Sampeyan punya
anak Man (Paman) ?”. “Ya!” (dengan rasa heran). “Jika salah satu dari kami
tinggal di sini maka Tuwan saya itu akan mendirikan sekolah di sini dan akan
memberikan seorang guru, dan tahukah Sampeyan Man bahwa di kota memang juga ada
sekolah tetapi di sana sekolah harus membayar, sedang di sekolah Tuwan kami
tidak meminta apapun (gratis), anak-anak Sampeyan akan menjadi anak pinter.
Pendeta kami juga mempunyai obat yang siap pakai dan jika sampeyan sendiri atau
anak atau isteri Sampeyan sakit, pendeta kami akan memberikan obat gratis. Ia
dapat menyembuhkan segala penyakit dan semuanya gratis. Kang Sampeyan di sini
rupanya benar-benar tidak berbahagia karena sendiri sama seperti kerbau yang
kesasar yang tidak punya gembala”. Selama dialog ini berlangsung dari permulaan
permintaan ijin dan ekspresi keterkejutan/ keheranan tidak tampak. Sementara
itu saya bisa menengarai bagaimana bantuan gratis kita dari Zendelling
dipublikasikan oleh para pembantu Zendelling (guru Injil), hal itu dipakai
sebagai alat /tuas pengumpil untuk mereka yang masih merasa asing dengan orang
Kristen agar kemudian bisa masuk sebagai warga jemaat Kristen. “Kang apakah
Sampeyan punbya air minum untuk kami ?”. “Ya mampirlah, di sana itu adalah
rumah kami, di sana kami membuat gula aren, barangkali di rumah masih ada sisa
legen”. Kemudian kami segera menuju rumah rumah tukang aren. Di dalam pondok
sederhana/ primitive ini di tengah-tengahnya ada dapur/ pawonan dengan 3 lobang
yang di atasnya terdapat/ menumpang 3 wajan. Di dalam wajan inilah air legen
dari pohon aren direbus. Jika air legen di wajan besar sudah agak asat
dipindahkan ke wajan yang agak kecil. Selanjutnya wajan yang kecil sampai
kental lalu diangkat dicetak dalam cetakan bambu. Setiap pagi dan sore ia
memasak legen seperti itu. Setiap 12 potong gula dibungkus dalam daun aren.
Pedagang dating ke sini membeli /kulak kemudian menjualnya ke pasar-pasar-pasar
di sekitarnya. Tukang gula aren ternyata ramah seperti manisnya legen yang
dingin maupun gula arennya. Tukang gula aren meminta ijin untuk naik mengambil
gula dari “paga” bagi kami, dia kelihatan sangat senang bahwa bisa
bercakap-cakap dengan kami. Di atas tungku/ pawonan digantungkan sebuah “paga”
untuk menyimpan gula aren agar tetap kering. Dan akhirnya saya menarik
kesimpulan bahwa orang ini memang tidak berbahaya (bagi orang Kristen). Ketika
saya tiba di rumah dalam keadaan basah kuyup, ternyata tukang gula aren telah
dating di rumah Andrian menunggu kedatangan saya. Ia tentu melihat bahwa saya
sangat suka dengan gulanya, setidaknya itu terlihat dari 96 potong gula aren
yang dibawanya untuk saya dan masih ditambah lagi dengan uang untuk membeli
obat bagi seluruh keluarganya.
Pada 25 – 28
Maret,
saya melakukan kunjungan ke rumah-rumah warga, selama kunjungan ini saya
ditemani oleh Andrian dan Kromo. Dalam perkunjungan, saya menggunakan cara yang
sama dengan yang saya lakukan di Mojowarno ketia saya mencari seseorang di
sana. Pertama-tama kepala/ pimpinannya, selanjutnya orang kebanyakan,
mempercakapkan semuanya, bercakap-cakap santai yang ringan-ringan dengan
sengaja mengangkat soal rumah dan halaman sekitarnya, kegiatan, memuji
kebersihan (kesucian), menulis semua nama-nama anggota keluarga dan anak-anak
sudah baptis apa belum, apakah sudah memiliki tanda baptis, apakah anak-anak
rajin sekolah dan katekisasi atau apakah masih mempunyai keluarga yang beragama
lain (mslm), apakah biasanya /kebanyakan peristiwa/ kejadian dan atau orang
juga juga mendorong perasaan orang untuk memberitakan kabar baik kepada orang
lain. Yang paling akhir adalah tidak ragu-ragu lebih banyak kea rah
kesejahteraan, perkakas rumah, rumah, lumbung, sapi/ kerbau pekerja dan
lain-lain.
Dalam
ibadah Minggu tanggal 29 Maret, saya
berkotbah tentang Jemaat Tuhan Yesus, kematian, baptis, selanjutnya penerimaan
9 orang warga dewasa baru ke dalam persekutuan Jemaat. Dalam berbagai acara
Ibadah saya banyak menggunakan nyanyian dari Zendelling Hoezoo dan C. Poensen
yang dinyanyikan dengan lancer dalam bahasa Jawa dengan nikmat mereka
menghayatinya. 40 ekslempar buku dalam sekejap habis. Persembahan bisa
terkumpul f 9,50. Pada kesempatan ini teman saya di kota bisa mempersembahkan
‘schaal’ untul air babptisan. Siapa lagi kiranya teman-teman yang mau
mempersembahkan alat-alat perjamuan kudus. Di sebuah jemaat baru masih banyak
kebutuhannya, juga lonceng gereja belum dipunyai oleh Jemaat Swaru. Wah saya
koq terlalu banyak meminta ya.
Siang
harinya saya meneguhkan perkawinan sepasang calon pengantin, bertempat di
pendopo/ bernda rumah Zankius
Senin
pagi saya pulang ke Malang
Surat tertanggal
: 15 – 4 – 1873
---------------
(Mededeelingen
no.20/thn 1876)
Laporan
Zendelling Johanes Kreemer tentang keadaan Malang (khususnya Swaru) tahun 1874
Selama
ini Zendelling J.Kreemer masih memaksakan diri untu bertempat tinggal di kota
Malang. Sebenarnya Swaru telah menyiapkan rumah kecil sederhana dari gedeg.
Sayangnya kalau musim hujan rumah itu tidak cocok- tidak layak untuk ditempati.
Sedang untuk membangun rumah pastori permanen masih membutuhkan banyak kayu.
Meskipun begitu Zendelling Kreemer dan isterinya sudah menyelenggarakan
perayaan Natal bersama dengan warga Swaru.
Zendelling
Kreemer telah mengajukan permohonan permintaan kayu di hutan yang gratis, jika
permohonan itu dikabulkan tentu ia akan segera memulai membangun rumah pastori.
Tetapi ia masih terus mengingat bahwa gedung sekolah dan gedung gereja terlihat
memprihatinkan. Maka ia meminta bantuan uang kepada teman-teman di Belanda. Ia
membutuhkan f 6000 sementara ini ia telah bisa mengumpulkan f 1000, pemerintah
di Malang membantu f 180. Beberapa waktu yang lalu warga juga ada kesanggupan
member bantuan dari orang-orang Belanda di Jawa. Kreemer juga mengharapkan juga
orang-orang Belanda di Friesland dan Holland yang mau membantu.
Warga
Jemaat Swaru berjumlah 374 jiwa L= 196
P=168 yang semuanya berada dalam 193 keluarga. Kreemer sangat sering
bertemu dan bergaul dengan mereka. Ia melayankan baptisan dalam setiap setiap
perjalanan dinasnya atau orang-orang Swaru sendiri yang mendatanginya di
Malang. Ia seringkali membagikan obat-obatan.
Kadang-kadang
ia dengan isterinya berkunjung ke Jenggrik, suatu desa tempat orang membuat
tembikar, menghadiri kebaktian dimana 12 orang berkumpul dalam sebuah rumah
Jawa yang kecil. Mereka menerima dengan senang Kidung Pujian berbahasa Jawa
yang disusun oleh Zendelleng Hoezoo dan C.Poensen. Dengan penuh semangat dan bahagia mereka menyanyikannya. Kreemer
telah membeli buku kidung sebanyak 50 eksemplar. Dahulu, SE Hartorn pernah
menunggui Jenggrik ketika jemaat di sini masih banyak jumlahnya. Sejak sebagian
besar orang Jenggrik pindah ke Swaru di Jenggrik masih terdapat 3 kotak berisi
kitab suci dalam bahasa Jawa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tanpa banyak
bertanya, Kreemer langsung memboyong Kitab Suci itu ke Swaru untuk digunakan
oleh orang Swaru dan disimpan dalam almari kayu jati khusus untuk Kitab Suci.
Menurut
Kreemer kitab suci perjanjian Lama lebih sulit dipahami dibandingkan dengan
Perjanjian Baru, utanya Injil Markus. Di
sisni ( Swaru) para perempuan membaca Kitab Suci lebih lancer dari pada pria,
sebab di sekolah Zending anak perempuan lebih rajin masuk sekolah dari pada
anak laki-laki.
Laporan
ini selanjutnya mengenai para pembantu Zendelling di Swaru yang mana potert
(bukan foto) mereka baru beberapa bulan yang lalu di kirim kepada redaksi di
Nederland
1.
Andrian,
ia adalah saudara laki-laki dari Bernardus dari Mojowarno, ia berpenampilan
sangat kalem, tanpa emosi, tidak begitu berkembang, tidak pandai tetapi ia
punya pengaruh bnesar atas warga Swaru dan kalau ia berbicara selalu ‘mbapaki’
(momong).
2.
Kromo,
ia adalah seorang muridnya Bernardus di Mojowarno, pribadinya aktif, rajin dan
cekatan, kraetif dan mudah bekerjasama. Suatu saat ia bisa bersikap keras dan
kaku sehingga harus dikendalikan. Tetapi di desa ia selalu siap sedia disamping
Zendelling dalam segala hal.
3.
Mangoen,
orang ini maju. Dahulu ia adalah murid Zendelling Kruijt dan zendelling Roskes. Ia menguasai
untuk penulisan data pasien dan mempersiapkan obat-obatan yang akan
dipergunakan. Sayangnya orang ini agak pemalas.
4.
Zacharias,
ia adalah orang yang aneh/ khas, tidak bisa membaca maupun menulis. Dahulu ia
menemani Zendelling C.Poensen dan waktu itu tampak lebih rajin mengkabarkan
Injil dari pada sekarang. Tetapi ia mengatakan bahwa pekerjaan mengabarkan
Injil di Kediri lebih gampang dari pada di Malang. Ketika Kreemer memberitahu
dia bahwa ia gagal dalam ber-PI membuat ia putus asa. Sehingga karena itu, Ia
meninggalkan daerah yang berbatu-batu dan berpasir : Pager Gunung kemudian
dengan beberapa warga jemaat ia tinggal di hutan Wonolopo. Di hutan itu ia
membangun gubug sederhana, tetapi untuk tidur malam hari mereka masih di
dahan-dahanpohon karena tkut harimau. Ia adalah orang yang selalu siap sedia
siang malam, tidak ‘angel’/ tidak sulit; Sebagai orang yang rindu pada Firman
Tuhan- dalam hal ini dari segala sisi ia bisa disamakan dengan Paulus Tosari di
Mojowarno’
Para pembantu Zendelling dating setiap 2
kali seminggu kepada Zendelling untuk mengikuti pendidikan lanjutan. Kreemer
melayani/ menangani mereka dengan persamaan, dengan kekinian/ sesuai kemajuan
jaman. Hal ini yang selalu dibutuhkan Zendelling utamanya pendidikan.
Sekolah di Swaru pada tahun 1874 mempunyai 88 anak. 70 orang
anak adalah Kristen sedang sisanya Muslim. Di awal 1875 mereka ini akan lilus. Mereka itu murid-murid yang pandai
membaca dan menulis baik bahasa Melayu maupun bahasa Jawa, mereka juga mampu
berhitung dan juga mengenal ilmu bumi. Kebanyakan dari mereka kemudian akan
sidhi dan selanjutnya kawin. Dan tentang proses dari perkawinan orang Jawa, Ia
menyampaikan dengan agak sedih.
Ia mengeluh dengan sangat tentang lokal
sekolah yang seluruhnya sangat tidak cocok dan tentang kebutuhanalat-alat
belajar mengajar; begitu juga dengan bangku sekolah yang remuk. Ia meminta
dengan sangat bantuan dari setiap orang yang peduli pada pendidikan. Kreemer
memberikan sebuah contoh gambaran sekolah di Swaro :”Sekolah guru berada di
sebelah rumah saya. Hal ini memaksa saya harus bekerja total. Di sini ada 5
orang siswa dan 4 diantaranya adalah dari Mojowarno. Dengan senang hati saya
pernah melihat sebagian besar mata pelajaran; tetapi biaya untuk itu sangat
mahal. Di sana Kreemer mengkombinasikan sejumlah mata pelajaran dengan alat
bantu. Orang harus bertanya/ mengetahui, bagaimana mungkin Kreemer bisa
mengkombinasikan sebanyak/ semua itu. Sebab menyusun semua mata pelajaran
dengan alat-alat bantu secara lengkap seperti sekolah yang terbaik. Yaitu;
Pelajaran tentang Kitab Suci, menyayi, membaca dan menulis Jawa dengan huruf
Jawa dengan karakter Arab, bahasa Melayu dengan Romawi dan dengan karakter
Arab, ilmu bumi umum dan khusus, berhitung biasa dan decimal, pelajaran
menggambar dan juga ilmu pendidikan. Ia juga memasukan pelajaran ilu pasti,
menggambar ilmu bumi, ilmu alam, pengetahuan tentang manusia dan tentang
kesehatan.
Ia menulis ke Belanda sebabagi berikut :
“Hai Belanda”, saya mendidik dengan sengaja dan terencana. Buku nyanyian
Zendelling Poensen diajarkan dengan tertib dan dinyanyikan di sekolah dengan
baik dan bersemangat. Murid-murid sangat rajin, tetapi Kreemer masih
memprihatinkan soal kerapian dan tentang menulis. Jika diperlukan, murid-murid
diberikan PR dengan maksud agar mereka lebih teratur, lebih rapid an terbiasa
dengan peraturan
Dalam laporan ini, yang menjadi
perhatian Kreemer adalah tentang pendidikan/ sekolah. Kepada pemerintah ia
mengkritik penanaman tembakau dimana uangnya dikirim keluar, jeleknya pelayanan
kepada orang miskin. Adanya diskriminasi antar orang Eropa dan Jawa, begitu
juga kepada perempuan.
(Laporan
ini masih ada kelanjutannya)